Pendidikan kebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar yang sudah relatif tua, yang membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern Eropa. Mengenai pendidikan bagi individu dengan berbagai kecacatan, gambaran umum sejarah menunjukkan adanya perkembangan dari upaya-upaya pendidikan yang sporadis ke keingintahuan filosofis, hingga didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya. Dari sejarah, dapatlah terlihat kilasan-kilasan tentang kondisi para penyandang cacat mulai dari zaman Mesir Kuno, Yunani Kuno, Injil, dan Qur’an, dan sejumlah teks abad ke-18.
Serpihan-serpihan dokumentasi itu memberi kesan tentang adanya sikap yang mendua, antara perawatan, kasih sayang, dan minat pada satu pihak, dan di pihak lain, kurangnya tanggung jawab, eksklusi dan kecenderungan yang meningkat untuk mengelompokkan orang berdasarkan jenis kecacatannya. Tidak mengherankan bahwa dokumentasi tentang upaya-upaya pendidikan itu hanya merupakan sebagian kecil dari informasi yang ada mengenai orang yang menyandang kecacatan, mengingat bahwa pendidikan formal merupakan hak istimewa bagi sebagian kecil orang pada awal sejarah.
Selain itu, model huruf ukiran untuk individu tunanetra telah ditemukan pada zaman Mesir Kuno dan juga pada zaman Renaissance di Eropa ketika Erasmus dari Rotterdam (1469 – 1536) juga menggunakan alfabet ukiran dalam pelatihan keterampilan menulis bagi siswa-siswa yang awas. Informasi lain mengatakan bahwa sejak abad ke-5 telah ada berbagai kelompok tunantera yang dapat mencukupi dirinya sendiri dan yang mengatur pelatihan pekerjaan internal. Satu contoh tentang mengajarkan membaca bibir kepada orang tunarungu ditemukan di Keuskupan York pada abad ke-8.
Namun, menurut Enerstvedt (1996), pengetahuan mengenai cara mendidik individu yang tunarungu berat mulai disebarkan dari apa yang disebut ”Revolusi Spanyol yang tidak begitu terkenal” ke berbagai bagian benua Eropa lainnya dan kepulauan Inggris pada akhir abad ke-16.
Seiring berjalannya waktu, jumlah sekolah khusus meningkat di Benua Eropa selama abad ke-19 dan 20. Peningkatan terjadi pula pada jumlah kebutuhan khusus yang teridentifikasi dan dikatagorikan yang selanjutnya mengarah pada pendirian sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga yang lebih terspesialisasi berdasarkan jenis kecacatan dan kesulitan yang dihadapi anak. Sebagian dari sekolah-sekolah ini adalah sekolah yang dikelola oleh swasta, sedangkan sebagian lainnya di sekolah negeri.
Dunia sedang mencanangkan pendidikan yang ideal untuk anak-anak berkebutuhan khusus ini yaitu melalui inklusi. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif itu sendiri semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ”education for all – ”pendidikan untuk semua”. Implikasi dari pernyataan ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa terkecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut Deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’The Salamanca Statement on Inclusive Education’. Dokumen ini mengakui hak asasi dari semua anak-anak untuk pendidikan yang inklusif. 193 negara telah menandatangani Konvensi tentang Hak-hak Anak dan juga telah setuju untuk terikat dengan isi dari konvensi ini.
Beberapa negara telah membuat kemajuan yang signifikan terbukti dari cara setiap negara mempromosikan pendidikan inklusif dalam perundang-undangan nasional mereka, contohnya termasuk Kanada, Siprus, Denmark, Islandia, India, Luksemburg, Malta, Belanda, Norwegia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Uganda, Inggris, Amerika Serikat, dan Italia. Selain itu, Hukum yang ada di negara Italia telah mendukung pendidikan inklusif sejak tahun 1970-an.
0 komentar:
Posting Komentar