Selamat Datang di Blog Pribadiku,.. Semua tentang Pendidikan Inklusi dan Perkembangannya ada disini,.. Selamat Menimba Ilmu :)

Kamis, 09 Desember 2010

Mengenal Pendidikan Inklusi

18.54 Posted by: luqman.info, 0 comments

Cuplikan makalah yang akan dipresentasikan dalam Kongres Nasional Ikatan Psikolog Klinis di UGM
Manusia sejak lahir dikaruniai potensi sosialitas, artinya setiap individu memiliki kemampuan untuk dapat bergaul dan tidak dapat mencapai apa yang diinginkannya seorang diri. Kehadiran manusia lain di hadapannya bukan saja penting untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya.


Sehubungan dengan potensi dan kebutuhan sosial tersebut, dunia mencanangkan pendidikan ideal yang mengakui pluralitas perbedaan individual dan memanfaatkannya secara positif sebagai sumber untuk belajar. Sebuah pencanangan yang dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat memang terdapat keragaman, baik kondisi fisik, lingkungan sosial, tingkat ketahanan ekonomi, kemampuan intelektual, penggunaan bahasa, keyakinan agama, dan lain sebagainya. Implikasi dari pencanangan ini adalah semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK), berhak mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi jika tidak signifikan dan tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus maka anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, tetapi khusus untuk keperluan pendidikan inklusi, anak dengan kebutuhan khusus akan dikelompokkan menjadi 9 jenis yang paling sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Jika di luar 9 jenis tersebut masih dijumpai di sekolah, maka guru dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk menanganinya, seperti anak-anak autis, anak korban narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain.
Terkait dengan kebutuhan model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan menyelenggarakan pendidikan yang tidak diskriminatif, maka model pendidikan inklusi menjadi pilihan. Tentunya inklusif dapat diterjemahkan dalam arti luas, tidak sekedar menggabungkan antara ABK dengan anak normal, tetapi memfasilitasi kebutuhan anak sesuai kebutuhan kekhususannya, baik aspek fisik, emosi sosial, juga perbedaan latar belakang budaya, agama, dan bahasa.
Keberhasilan sistem pendidikan inklusi akan sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran. Pada dasarnya masing-masing individu, tanpa terkecuali, memilki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dengan menyadari prinsip tersebut, masing-masing individu diharapkan menyadari bahwa inti dari keberhasilan proses pembelajaran adalah strategi dalam menerima dan menjalin relasi personal di mana hubungan antar pribadi terjalin tanpa mendiskriminasikan predikat yang disandang oleh masing-masing pihak.
Strategi yang cukup umum dipakai adalah relasi collaborative consultation. Dalam Mangunsong (1996) dikatakan bahwa pendekatan collaborative consultation penekanan utamanya adalah kesamaan (mutuality) dan timbal balik (resiprocity), artinya membagi tanggung jawab dan kekuasaan yang seimbang dan terpadu. Tidak ada pihak yang merasa lebih bertanggung jawab, lebih ahli, atau lebih diuntungkan dalam menentukan atau menjalankan program bersama. Dalam pelaksanaannya, guru kelas berkolaborasi dengan berbagai profesi yang terkait, misalnya psikolog, terapis, atau dokter sehingga dapat mengidentifikasikan dan memfasilitasi beragamnya kebutuhan anak dengan tepat. Tentunya program ini akan berhasil jika didukung kerja sama yang efektif dengan oleh seluruh siswa dan orang tuanya.
Pada kenyataannya, di Indonesia, walaupun sudah hampir 20 tahun sejak “Pendidikan Untuk Semua” dicanangkan di Bangkok, namun ABK tetap sering kali dipandang tidak memungkinkan mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak normal, salah satunya dalam akses pendidikan. Padahal, sebenarnya jika dengan berbekal prinsip dasar pendidikan inklusi bahwa pendidikan adalah hak setiap orang, setiap anak memiliki keunikannya masing-masing, dan meyakini bahwa memisahkan ABK dari teman-temannya yang normal mengingkari kedua prinsip tersebut, maka pandangan tentang ABK tersebut dapat ditepiskan.


0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Atas Kunjungan Anda :)