Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Ditegaskan dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau berkebutuhan khusus dapat dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya adalah tidak ada kesenjangan di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Diharapkan pula anak dengan kebutuan khusus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu anak yang berkebutuhan khusus perlu diberkan kesempatan yang sama dengan anak normal lainnya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di jenjang pendidikan yang ada.
Namun untuk masa sekarang, jenjang pendidikan yang disiapkan untuk menerapkan kebijakan sekolah inklusi ini adalah pendidikan sekolah dasar (SD). Dan pendidikan inklusi pada jenjang sekolah dasar diharapkan mampu untuk memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak berkelainan.
Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan solusi pemberian pelayanan pendidikan yang diberikan kepada seluruh anak-anak. Perlu adanya partisipasi masyarakat dan kerjasama yang sinkron antara orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat.
Sekolah Inklusi, Alternatif Lain SLB
“Mereka yang terkucil dari pendidikan sering kali tidak terlihat; jika terlihat, mereka tidak diperhitungkan, jika diperhitungkan, mereka tidaklah dilayani. Pendidikan Inklusif sebenarnya berarti membuat yang tidak tampak menjadi tampak dan memastikan semua siswa mendapatkan hak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik”
Demikian diungkapkan Direktur UNESCO’s PROAP, Bangkok Sheldon Shaeffer. Dia mencoba meningkatkan dan memperluas jaringan pemberdayaan pendidikan terutama mengarah pada penyetaraan di bidang pendidikan yaitu ”Konsep Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education For All (EFA)”.
Sangatlah penting untuk disadari bahwa keragaman di antara manusia adalah normal dan demikian juga berbagai kategori orang dalam kecacatan berbeda. Seorang guru bisa saja mempunyai dua murid tunanetra yang membutuhkan pendekatan pembelajaran yang sangat berbeda karena keragaman itu normal baik diantara orang-orang yang tanpa dan yang memiliki kecacatan.
Pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung (cacat) sangat penting dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial. Meskipun di Indonesia pendidikan merupakan suatu kewajiban bagi semua anak berusia 7-15 tahun, tanpa kecuali, namun anak-anak yang kurang beruntung dan yang memiliki kebutuhan khusus secara tidak resmi mendapat pengecualian.
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Mainstream, Integrasi & Inklusi
Mainstreaming, integrasi, dan inklusi merupakan penjabaran situasi dimana anak berkelainan / dengan kecacatan diperbolehkan belajar bersama dengan teman sebayanya tanpa kecacatan dengan anggapan mereka dapat menyesuaikan kepada sistem mainstream dan peraturannya (mainstreaming/integrasi). Hanya inklusi mencerminkan hak asasi manusia dan isu keadilan sosial dari pendidikan eksklusif mungkin akibat kebijakan dan praktek yang kaku dalam sistem pendidikan mainstream.
Mainstream adalah sistem pendidikan yang menempatkan anak-anak cacat di sekolah-sekolah umum, hanya jika mereka mengikuti kurikulum akademis yang berlaku, dan guru juga tidak harus melakukan adaptasi kurikulum. Mainstream kebanyakan diselenggarakan untuk anak yang sakit yang tidak berdampak pada kemampuan kognitif, seperti epilepsi, asma dan anak-anak dengan kecacatan (dengan fasilitas peralatan, seperti alat bantu dengar dan buku-buku Braille) dan juga mereka yang memiliki tunadaksa.
Integrasi berarti menempatkan siswa yang berkelainan dalam kelas dengan teman-teman sebaya mereka yang tidak memiliki kecacatan. Sering terjadi di sekolah integrasi dimana anak-anak hanya mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya, dan untuk kebanyakan mata pelajaran akademis, anak-anak ini menerima pelajaran pengganti di kelas berbeda, terpisah dari teman mereka. Penempatan terintegrasi tidak sama dengan integrasi pengajaran dan integrasi sosial, karena ini sangat tergantung pada dukungan yang diberikan sekolah (dan dalam komunitas yang lebih luas).
Inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial. Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan, seperti tuna netra, tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, maupun tuna laras. Secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah (selama memungkinkan) semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Sekolah inklusi dimulai dengan filosofi bahwa semua anak dapat belajar dan tergabung dalam sekolah dan kehidupan komunitas umum. Keanekaragaman antar anak dihargai, dan diyakini bahwa keanekaragaman menguatkan kelas dan menawarkan semua kesempatan yang lebih besar untuk pembelajaran anak.
Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.
Lawan kata inklusi adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada frustasi dan kebencian. Inklusi dan pendidikan inklusif tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengkuti program pendidikan, namun melihat para guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan individu.
Inklusi Sebagai Model Pendidikan Khusus
Model pendidikan khusus tertua adalah Model Segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Di Indonesia pendidikan khusus ini dinamakan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah Model Mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai berikut:
1. Kelas biasa penuh
2. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
3. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
4. Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
5. Kelas khusus penuh,
6. Sekolah khusus, dan
7. Sekolah khusus berasrama.
Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985).
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences di Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif, memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan.
Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot sebagai ancaman bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol oleh sekolah, bukan dibantu.
Selain belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di kelas segregasi menunjukkan hasil yang lebih positif, biaya penyelenggaraan sekolah segregasi relatif lebih mahal dari pada sekolah umum. Lagipula, banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat, sehingga menjadikan pendidikan inklusi sebagai jawaban kontemporer bagi anak-anak berkelainan dan berkebutuhan khusus.
Meneropong Wajah Sekolah Inklusi
Banyak yang belum tahu dan belum mengerti seperti apakah sekolah inklusi itu. Bahkan istilah ”inklusi” itu sendiri terdengar begitu asing bagi para masyarakat awam. Atau mungkin hanya para orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi yang mengetahui sistem pendidikan baru ini. Walaupun demikian masyarakat yang tahu akan hal ini pun belum tentu mengerti dan mengetahui persepsi awal yang sebenarnya.
Menurut Idayu, Koordinator Sekolah Inklusi di Kota Malang, Sekolah inklusi adalah sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memungkinkan semua anak berkumpul dengan yang lainnya, dengan setting pembelajaran ramah anak.
Istilah sekolah inklusi kini telah memperolah popularitas, khususnya dalam literatur Inggris dan Amerika . Perubahan terminologi ini dapat dipandang sebagai kritik terhadap kecenderungan dalam kebijakan integrasi pendidikan. Kritik tersebut terfokus pada apa yang dianggap oleh sebagian orang sebagai setengah hati, ketika sekolah reguler lokal dibuka hanya untuk sebagian kelompok siswa yang berkebutuhan khusus saja atau ketika kelas khusus atau “sekolah khusus” dirancang sebagai unit khusus dalam sekolah reguler. Istilah UNESCO untuk sekolah inklusi ini yaitu Lingkungan yang Inklusi dan Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP) sedangkan istilah dari UNICEF yaitu Sekolah Ramah Anak (SRA).
Beberapa ide utama dari prinsip sekolah inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut,:
* Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas atau kelompok reguler.
* Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif, individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan materinya.
* Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan memiliki pengetahuan tentang cara menghargai pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.
Sekolah inklusi bukanlah sekedar sekolah yang menerapkan konsep penyetaraan terhadap semua manusia dalam memperoleh pendidikan, tapi juga membutuhkan settinggan ramah anak didalamnya. Setting ramah anak ini sangat membantu dan mendorong kemajuan perkembangan penerapan pendidikan inklusi di sekolah.
Dimana para ABK sangat membutuhkan dukungan dan motivasi yang mampu mendorong mereka untuk berinteraksi dengan lingkungannya, maka komponen utama yang paling mereka butuhkan di sekolahnya adalah sebuah keramahan, yang menerjamahkan pada mereka suatu penunjukkan kondisi penerimaan terhadap diri mereka.
Ada lima dimensi sekolah ramah anak yang diungkapkan Delegasi Cina pada Lokakarya Asia Selatan tentang Pendidikan Inklusi dan Sekolah Ramah Anak di Delhi bulan Nonember 2006 kemarin, yaitu: (1) Secara proaktif inklusi – pencarian anak; (2) Sehat, aman, dan protektif; (3) Partisipasi masyarakat; (4) Efektif dan Terpusat pada Anak; (5) Responsif Jender. Kelima dimensi ini digunakan untuk memonitori implementasi rintisan sekolah ramah anak.
Sekolah Inklusi Siap Tampung ABK
Idayu Astuti, Koordinator Sekolah Inklusi di Kota Malang menuturkan ”Seharusnya semua orang (semua siswa) boleh bersekolah di sekolah ini baik yang normal maupun termasuk siswa ABK. Namun disayangkan masyarakat belum siap dengan diadakannya sekolah inklusi.” Jadi Dinas Pendidikan Kota Malang (Dindik) memutuskan bagi siswa yang ABK, hanya yang sudah siap saja seperti anak yang terkena autis ringan dan tunadaksa, serta ditetapkan pula bahwa dalam satu kelas maksimal terdapat tiga siswa ABK dan sekolah yang mempunyai status sekolah inklusi disarankan tidak menerima siswa ABK pindahan, lanjutnya.
Wanita Pendiri Yayasan Idayu ini menjelaskan bahwa tiap sekolah ditakutkan mengalami suatu hal yang dapat mengganggu proses belajar mengajar di sekolah tersebut jika mereka dibolehkan menerima ABK pindahan. Karena siswa ABK yang sejak awal tidak di tangani oleh pihak sekolah akan cenderung memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi.
Hal ini pun disetujui oleh Mutini Kepala Sekolah SDN Percobaan 1 Malang, yang juga beranggapan bahwa akan terjadi ketidakefektifan belajar bagi siswa ABK jika dalam satu kelas terdapat banyak siswa ABK.
”Minat masyarakat yang ingin menyekolahkan calon siswa ABK sangat tinggi. Namun kami membatasi calon siswa yang akan bersekolah di SDN ini. Kalau terlalu banyak siswa ABK nanti malah mengganggu siswa yang lain” ungkap wanita yang dulu sempat menjadi Ketua FKSI (Forum Komunikasi Sekolah Inklusi) itu.
Ia juga menanggapi bahwa selain timbulnya ketidakefektifan dalam proses belajar mengajar dengan adanya siswa ABK pindahan, yang kedua adalah faktor kuantitas siswa ABK itu sendiri.
”Ya sekolah ini tidak menerima siswa pindahan. Kami menerima siswa ABK mulai dari kelas 1. Karena jika bukan binaan sekolah ini sejak awal, nanti malah merepotkan” ujarnya. Masalahnya sekolah ini juga ingin nilai itu tetap selalu bagus walaupun ada anak-anak ABK, makanya rekruitnya juga baru. Kalau ndak ada kebijakan seperti itu banyak orang yang ingin menyekolahkan calon siswa ABK nya kesini, lanjutnya.
Kenyataan ini menunjukkan pada publik bahwa pendidikan inklusi yang kini berjalan belum terealisasi secara maksimal. Tidaklah mengherankan jika paradigma baru ini belum mampu diterima masyarakat sepenuhnya. Maka itu seperti yang telah tertulis, partisipasi masyarakat merupakan komponen yang sangat penting bagi keberhasilan program baru ini. Agaknya pemerintah harus lebih gencar dalam mengupayakan realisasi pendidikan inklusi ini, salah satunya melalui pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pendidikan inklusi.
Mengapa Sekolah Inklusi
Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak untuk mencapai kesejahteraan sosialnya. Tak terkecuali anak-anak yang kurang beruntung baik dalam segi fisik maupun mental. Namun kenyataan di lapangan, anak-anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus menjadi anak yang dapat dikatakan mendapat pengecualian.
Rencana pendidikan nasional, pendidikan untuk belum semua terpenuhi. Sebanyak 49.647 anak berkebutuhan khusus dari total sekitar satu juta anak berkebutuhan khusus yang dapat mengenyam pendidikan.
Eksklusivitas dalam pendidikan menutup kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh pendidikan. Sikap eksklusivitas semakin membuat anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus semakin terpinggirkan.
Tujuan dari dibentuknya sekolah inklusi adalah untuk menekan dampak yang ditimbulkan oleh sikap eksklusif. Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dan kurang berutung dapat mengenyam pendidikan.
Partisipasi masyarakat dan adanya kemandirian menetukan berjalannya kebijakan sekolah inklusi ini. Karena dalam sekolah inklusi ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dengan pengajar di kelas untuk menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
Selain itu dalam sekolah inklusi, guru-guru diharuskan untuk mengajar secara interaktif. Hal ini nantinya dapat menciptakan komunikasi antar guru dan siswa, sehingga dapat timbul kedekatan. Dengan adanya kedekatan tersebut akan menghilangkan adanya isolasi profesi. Dalam sekolah inklusi, makna orang tua juga berperan dalam menentukan perencanaan baik dari segi perencanaan kurikulum di sekolah maupun bantuan belajar di rumah.
R13
Penerapan Sekolah Inklusi Layaknya penerimaan siswa-siswa reguler biasa, para siswa ABK pun untuk dapat diterima oleh sekolah inklusi perlu melewati ujian atau test terlebih dahulu. Di Malang khususnya test dilakukan di sekolah masing-masing siswa ABK yang ingin di masuki, namun perkembangan terbaru yang ada kini agar test yang dilakukan lebih efisien dan efektif maka ditentukan pusat sumber untuk melakukan tes siswa ABK yang nantinya akan ditempatkan di salah satu sekolah inklusi yaitu di Sekolah Bakti Luhur.
Bakti Luhur merupakan sekolah luar biasa (SLB) yang terbesar se-Asia Tenggara. ”Kita sudah melakukan kerjasama dengan pihak Bakti luhur. Pak Sofyan sudah menandatangi MoU, maka itu Bakti Luhur kini menjadi pusat sumber test ABK.” ujar Idayu, ketua kordinasi sekolah inklusi di Malang, saat ditemui di Sekolah Bakti Luhur. Sistem tes yang berpusat seperti ini dirasa lebih memudahkan dalam pengkoordinasian seluruh sekolah inklusi di Malang ini.
Dengan adanya pusat sumber ini, maka nantinya pelatihan-pelatihan yang akan diberikan kepada GPK (Guru Pembimbing Khusus) akan diadakan disini (red. Bakti Luhur). Pelatihan ini dilakukan dengan mengirim para GPK ke Bakti Luhur secara periodik. Pelatihan yang sering dilakukan yaitu terutama pelatihan untuk menangani anak-anak autis, karena para GPK sering terkendala dengan ABK yang mengalami autis.
Penerapan sistem pembelajaran yang dilakukan pada sekolah inklusi tidak memiliki suatu sistem khusus, proses pembelajaran berjalan layaknya sekolah reguler biasa. Hanya saja lingkungan yang dibangun lebih pada konsep lingkungan yang ramah anak, hal ini dikarenakan agar ABK merasa lebih nyaman dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dengan baik.
Tantangan Sekolah Inklusi
Tidak seperti layaknya SLB yang secara keseluruhan memang dikhususkan untuk menangani siswa ABK, tentunya banyak kesulitan yang terjadi dalam menerapkan sekolah inklusi ini. Kesulitan yang dihadapi terutama dalam penanganan ABK itu sendiri, dimana ABK yang harus ditangani bervariasi jenis kelainannya. ABK yang selama ini dianggap paling sulit diatasi yaitu ABK yang mengidap autis, karena biasanya prilaku dari sang anak bersifat mengganggu. Dalam hal ini, GPK lah yang paling merasa tertantang untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Selain itu, dari segi ketenagaan sekolah inklusi yang ada saat ini kebanyakan masih kurang memadai. Hal ini dapat terlihat dari beberapa sekolah yang masih belum memiliki ruang BK (bimbingan konseling), tidak adanya alat bantu peraga bagi ABK khusus yang memerlukannya, dan sedikitnya GPK yang harus menangani banyak ABK dalam suatu sekolah inklusi. Namun, sejauh ini selalu diusahakan untuk terus memperbaiki sistem fasilitas yang ada, sehingga dalam proses penerapan pendidikan inklusi menjadi lebih baik. Hal ini diakui oleh Idayu, ”Dindik selalu mengusahakan ada APBD untuk sekolah inklusi, dan ini nantinya untuk pendanaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah inklusi”.
Yang paling menantang sebenarnya adalah mensosialisasikan konsep daripada sekolah inklusi ini kepada masyarakat. Beberapa sekolah inklusi serentak menjawab hal yang sama ketika ditanya mengenai kendala yang dialami ”Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang sekolah inklusi ini sehingga banyak orang tua siswa yang masih menentang.” Kendala ini terjadi mungkin karena kurangnya tindak lanjut dari tiap-tiap sekolah inklusi, sehingga kurang tersosialisasikan juga konsep pendidikan inklusi ini.
Penyelenggaraan Inklusi, Perlu Kesiapan Sekolah
Kemunculan sekolah inklusi masih mengalami banyak kendala dalam peneraannya. Jeanne Leonardo, salah satu psikolog di Kota Malang, memaparkan beberapa perihal menyangkut sekolah inklusi agar berjalan dengan lebih baik.
Siapakah yang berhak bersekolah di sekolah inklusi?
UNESCO menyatakan bahwa sekolah inklusi ini diperuntukkan bagi semua anak usia sekolah yang tidak memiliki kesempatan sekolah. Contohnya yaitu anak jalanan, anak autis, dll yang tergolong dalam kategori ABK.
ABK yang seperti apakah yang mampu masuk sekolah inklusi?
Syarat anak ABK yaitu anak yang kemampuannya ada di tingkat D (IQ 50-70). Kalau IQ 80 sudah masuk pada tingkat anak normal.
Bagaimanakah agar sekolah inklusi ini mampu berjalan dengan baik?
Ya harus ada kesiapan dari pihak yang normal
Bagaimana pandangan anda tentang sekolah inklusi ( dari segi psikolog)?
Kalau menurut saya inklusi itu ada potitifnya dan ada negatifnya. Positifnya anak-anak yang berekonomi rendah dapat tetap sekolah dan segi negatifnya yaitu persepsi yang salah dari masyarakat.
Efektifkah adanya sekolah inklusi ini?
Untuk efektifitasnya, sekolah inklusi ini sangat efektif sekali untuk dapat merangkul mereka (red. ABK) semua.
Apa saja yang seharusnya ada di sekolah inklusi ini?
Sarana sekolah dan kesiapan mental harus berjalan bersamaan. Sarana teknis yang ada ya tergantung dari muridnya dan tergantung kebutuhan pihak sekolah. Fasilitas secara umumnya yaitu semua hal-hal yang dirancang untuk anak ABK, jadi kembali pada ABKnya. Pada dasarnya semua anak ABK dapat masuk sekolah inklusi tidak hanya yang nilainya D, asalkan intelektual mencukupi untuk masuk sekolah reguler. Dan untuk lingkungannya, sekolah inklusi ini lingkungannya harus ramah terhadap mereka.
Apakah basic GPK harus dari sajana psikologi?
Oh, gak harus. S1 Psikologi itu hanya alternatif, lebih gampang jika lulusannya dari sarjana IKIP Ilmu Kependidikan.
Apa saja yang harus dimikili GPK?
Sebenarnya siapa saja bisa jadi GPK, orang luar juga bisa jadi GPK tapi harus belajar dari awal. Syarat umum untuk GPK itu sendiri adalah harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, sayang anak, dan komitment yang kuat.
Lalu bagaimana dengan para psikolog? Bukankah sekolah inklusi ini membutuhkan psikolog?
Iya tentunya seperti itu. Untuk psikolog itu sendiri harusnya terjub langsung ke sekolah-sekolahnya dan melihat perkembangan sekolah inklusi tersebut.
Apa harapan anda sebagai psikolog terhadap sekolah inklusi ini?
Harapan saya, agar sekolah inklusi ini dapat berjalan dengan lancar. Kemudian pemerintah juga lebih memperhatikan dan mempersiapkan segalanya baik masyarakat dan intern sekolah. Selain itu, adanya sosialisasi dan penyuluhan gratis juga akan sangat membentu perkembangan sekolah inklusi ini menjadi lebih baik. Untuk yang lebih utamanya harus ada kesiapan dari pihak internalnya.
Menguak Kontroversi Sekolah Inklusi
Paradigma baru yang terjadi dalam pendidikan melalui hadirnya konsep baru pendidikan khusus yaitu berupa sekolah inklusi, menghasilkan berbagai issue yang terdengar dalam masyarakat. Ini merupakan kontroversi awal bagi hadirnya new product di dunia pendidikan yang disebut “Education For All (EFA)”. Sebenarnya ini bukanlah suatu produk baru lagi, namun para ilmuan pendidikan baru menyadari bahwa pendidikan yang selama ini ada sebenarnya adalah hak semua manusia yang pantas untuk mereka tuntut, entah itu untuk manusia normal maupun manusia yang berkebutuhan khusus.
EFA merupakan suatu kesadaran publik yang membawa banyak pembenahan pada pendidikan yang selama ini telah ada. Perkembangan pendidikan luar biasa (PLB) yang terbukti melalui hadirnya pendidikan inklusi adalah suatu realisasi dari program EFA.
Bagi sebagian besar masyarakat pendidikan inklusi sangatlah baik untuk diterapkan di semua sekolah. Secara teoritis pendidikan inklusi ini memanglah sebuah pendidikan untuk semua orang. Tetapi jika dilihat dalam realisasinya, di luar negeri pendidikan inklusi lebih cenderung mensolusikan bagi permasalahan marginalisasi dalam hal minoritas etnis sedangkan di Indonesia khususnya Kota Malang lebih cenderung pada permasalahan marginalisasi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
Sejauh ini, di Kota Malang tidak terdapat perbedaan pendapat yang begitu berarti, semua mampu menyamakan persepsi tentang pendidikan inklusi yang perlahan-lahan ini mulai terealisasikan. Namun, bagaimanakah kondisi pendidikan inklusi di Ibukota kita, yang berperan sebagai tempat pijakan awal hadirnya pendidikan inklusi di Indonesia. Ternyata tidak sama adem ayemnya dengan kondisi realisasi yang terjadi di Kota Malang. Mungkin hal ini disebabkan oleh perkembangan realisasi pendidikan inklusi di Ibukota (Jakarta) yang telah jauh lebih maju dibandingkan ”Tahap Melangkah” yang sedang dijalani oleh Kota Malang.
Sebuah kontroversi terjadi ketika dalam persyaratan penerimaan murid baru sekolah menengah atas (SMA) tahun 2005 dicantumkan persyaratan bahwa calon siswa tidak boleh memiliki cacat fisik yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.
”Itu sama saja dengan melegalkan stigmatisasi terhadap orang cacat yang secara kultural telah lama diterapkan di sekolah ketika menerima siswa baru,” ucap Presiden Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Siswadi. Menurut Siswadi, kebijakan itu sangat bertentangan dengan kebijakan sekolah inklusi (sekolah umum yang memberi peluang handicap yang memiliki nilai seleksi nasional tinggi) yang dibangun pemerintah.
Hal itu, ujarnya, juga bertentangan dengan UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat dimana penyandang cacat diberi kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan.
Padahal sekolah khusus penyandang cacat sendiri, ujarnya, sangat tidak mencukupi jumlahnya. Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya ada 1350 sekolah di seluruh Indonesia. Jika rata-rata hanya 1 SLB untuk 4 kecamatan. ”Mobilitas mereka hampir tidak mungkin. Antar desa saja sulit,” sesalnya. Ia sadar di Indonesia banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas khusus bagi orang cacat memperoleh pendidikan yang dapat memudahkan kegiatan belajar mengajar. ”Justru itu yang menimbulkan diskriminasi,” katanya.
Padahal target Asia Pasific dimana Indonesia turut menandatanganinya di tahun 2002, sekurangnya 75 % anak cacat usia sekolah bisa memperoleh pendidikan. Saat ini, ujarnya, baru 5 % dari 1,5 juta anak usia sekolah yang memperoleh pendidikan. ”Yang sekarang sekolah baru 63 ribu di seluruh Indonesia,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI, Margani M. Mustar, mengakui dalam penerimaan siswa baru tahun 2005 mensyaratkan siswa baru tidak memiliki cacat fisik yang dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar. ”Juga bagi yang memiliki kelainan yang sulit dideskripsi,” ujarnya.
Ia membantah persyaratan cacat fisik ini bersifat diskriminatif. ”itu untuk kepentingan belajar mengajar juga,” jelasnya. Ia menuturkan, untuk sekolah menengah khusus seperti tata boga, tata busana dan teknik memang memerlukan indera yang baik. ”Kalau buta warna kan mesti pakai huruf braille. Dan tidak semua sekolah punya huruf braille,” ucapnya.
DKI Jakarta, ucapnya, juga mengembangkan sekolah inklusi. ”Di Jakarta ada beberapa, karena sekolah inklusi kan butuh peralatan lebih dan penanganan khusus,” ujarnya. Penyandang cacat, ujarnya, bisa datang ke Dikmenti untuk mendapat bantuan pendidikan.
Menanggapi persoalan ini Idayu sebagai orang yang telah terjun langsung menangani sekolah inklusi di Kota Malang mengatakan bahwa ini semua terjadi dikarenakan masih banyak masyarakat yang kurang meneriman siswa ABK.
Ternyata di balik kesempurnaan pendidikan inklusi yang di elu-elukan para pakar pendidikan, memiliki sebuah keterbatasan, yang dimana siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) tetaplah tidak mampu melangkah sejajar dengan siswa yang normal. Akankah inklusi mampu terus merambah hingga jejang perguruan tinggi?
Kontroversi ini menunjukkan bahwa kesenjangan yang terjadi antara siswa ABK dan siswa normal hanya sebatas meminimalisir, tidak dapat dihilangkan. Inklusi agaknya bukan solusi terbaik bagi permasalahan marginalisasi yang terjadi di dunia pendidikan. Mungkinkah akan ada lagi pendidikan-pendidikan lain yang menawarkan perubahan bagi permasalahan maginalisasi ini.
Tidak Semudah Guru Reguler
Sebelumnya Santi adalah seorang guru di salah satu SLB di Kota Malang sekitar 1,5 tahun. Wanita yang bernama lengkap Santi Dwi Puspitaningrum mengakui ketika ada program sekolah inklusi, dirinya langsung tertarik dan ingin menjadi GPK. Wanita asli malang ini juga menuturkan bahwa syarat untuk menjadi GPK itu adalah harus tahu apa yang akan kita dihadapi karena nantinya kita akan menghadapi anak-anak ABK dan GPK itu minimal harus bergelar Spd PLB dan sarjana psikologi.
Untuk menjadi GPK ternyata tidaklah semudah yang dikira layaknya guru-guru reguler yang ada. Santi menuturkan beberapa kesulitan yang ia rasakan selama menjadi GPK di SD Pandan Wangi 3 yaitu: Pertama, pengalaman yang ia miliki tidak mencukupi untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di sekolah; Kedua, ada sesuatu yang baru yang harus dihadapi. Santi mengakui karena pengalamannya yang sangat terbatas tersebut sehingga menyulitkannya menghadapi sesuatu yang baru yang ia temui dalam penerapan sekolah inklusi ini; Ketiga, tidak adanya alat peraga. Tidak hanya santi, mungkin seluruh GPK akan merasa kesulitan tanpa adanya alat peraga yang dibutuhkan untuk menunjang proses belajar ABK.
Berbica mengenai efektifitas sekolah inklusi, ia mulai mengeluarkan suara, ”Efektifitasnya ini diukur darimana sudut pandang mana dulu, kalau dari aspek kelas reguler sekolah inklusi ini kurang efektif karena ABK terutama yang memiliki kelainan autis biasanya suka menganggu”. Ia juga menambahkan bahwa sejauh ini sosialisasi sekolah inklusi ini bagus dan para wali murid juga telah menyetujuinnya, soal efektifitas memang perlu proses untuk memaksimalkan sekolah inklusi.
1. Nama-nama responden atau nama di dalam berita diperhatikan lagi (misal, idayu menyebut soyfan. Nama sofyan merujuk ke kadin pendidikan bernama shofwan)
2. kalimat langsung memakai ungkapan baku saja mengingat mereka bukan anak muda. (misal, gak seharusnya tidak)
3. berita tidak memakai poin-poin dan biasakan gunakan bahasa jurnalistik bukan kalimat seperti teori kuliah
4. Dinas pendidikan bukan disingkat Dindik, melainkan dindik. Kata Dindik merujuk ke depDindik (pusat). Jika berada di dalam kutipan, lebih baik diganti Dindik.
5. Setiap kalimat harus didasarkan pada responden, bukan terkesan opini penulis. (misal, Mrs X mengungkapkan….. atau ini diungkapkan Mrs X pada DIANNS saat dijumpai di ruang kerjanya atau pernyataan tersebut disampaikan Mrs X dsb )
0 komentar:
Posting Komentar