Sekolah inklusi memang tengah bergerak progresif. Walaupun pada saat ini baru terdapat 624 sekolah Inklusi di seluruh Indonesia, dari tingkat SD hingga SMA. Pada awalnya, dikarenakan begitu sulitnya dan terbatasnya mencari sekolah untuk anak - anak berkebutuhan khusus atau cacat, muncul ide untuk menerima mereka di sekolah biasa dengan program khusus. Artinya mereka dapat mengikuti kelas biasa, namun di sisi lain merekapun harus mengikuti program khusus sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas mereka. Kurikulumpun mereka mengikuti kurikulum biasa, namun dengan implementasi yang "terpotong-potong".
Namundemikian, sekolah inklusi tidaklah hanya sebatas untuk memberi kesempatan kepada anak - anak berkebutuhan khusus untuk menikmati pendidikan yang sama, namun hak berpendidikan juga untuk anak - anak lain yang kurang beruntung, misalnya anak dengan HIV/AIDS, anak - anak jalananan, anak yang tidak mampu (fakir - miskin), anak - anak korban perkosaan, korban perang dan lainnya, tanpa melihat agama, ras dan bahasanya.
Pendidikkan inklusi memang tengah bergerak, namun masih banyak ditemukan kendala untuk melaksanakannya. Dari fasilitas yang terbatas, misalnya fasilitas program khusus, seperti ruang terapi, alat terapi, maupun sumber daya manusia yang kapabel. Dilain pihak sekolah inklusi masih asing didengar oleh sebagia masyarakat kita. Bahkan tak jarang ada orang tua yang keberatan anaknya disatukan dalam satu kelas dengan anak berkebutuhan khusus, karena takut anaknya tertular.
Namundemikian, sekolah inklusi tidaklah hanya sebatas untuk memberi kesempatan kepada anak - anak berkebutuhan khusus untuk menikmati pendidikan yang sama, namun hak berpendidikan juga untuk anak - anak lain yang kurang beruntung, misalnya anak dengan HIV/AIDS, anak - anak jalananan, anak yang tidak mampu (fakir - miskin), anak - anak korban perkosaan, korban perang dan lainnya, tanpa melihat agama, ras dan bahasanya.
Pendidikkan inklusi memang tengah bergerak, namun masih banyak ditemukan kendala untuk melaksanakannya. Dari fasilitas yang terbatas, misalnya fasilitas program khusus, seperti ruang terapi, alat terapi, maupun sumber daya manusia yang kapabel. Dilain pihak sekolah inklusi masih asing didengar oleh sebagia masyarakat kita. Bahkan tak jarang ada orang tua yang keberatan anaknya disatukan dalam satu kelas dengan anak berkebutuhan khusus, karena takut anaknya tertular.
Sekolah inklusi adalah sebuah metamorfosa budaya manusia yang semakin moderen dan mengglobal. Bahwa setiap manusia adalah sama, punya hak yang sama dan kesempatan yang sama untuk berkembang dan mendapatkan pendidikan demi mengejar kehidupannya yang lebih baik. Tanpa melihat apakah warna kulitnya, rasnya, agama, maupun bawaan genetiknya, setiap orang berhak untuk sejajar dalam berkependidikan. Saya kira sekolah inklusi merupakan salah satu jawaban, bahwa pendidikan tak mengenal diskriminasi, bahwa semua berhak untuk mendapatkannya.
Walaupun demikian sampai saat ini, sekolah inklusi masih identik dengan mencampur anak berkebutuhan khusus dengan anak biasa. Padahal sekolah bisa disebut inklusi, jika kita dapat melihat anak secara individual dengan pendekatan individual, bukan klasikal. Saat ini, pendidikan kita masih melihat peserta didik dengan satu kaca mata, semua anak adalah sama. Padahal, setiap anak terlahir dengan membawa perbedaan dan keunikannya masing-masing. Artinya, setiap anak harus diberi ruang dan hak untuk berkembang sesuai dengan kapasitas yang dibawanya. Sekilas saya bisa melihatnya, bahwa sekolah inklusipun bisa bersesuaian dengan pendekatan multiple intelegences. Sebuah pendekatan pembelajaran yang sedang banyak dikembangkan pula.
Di masyarakat, tidak semua orang tua yang punya anak berkebutuhan khusus yang mau menyekolahkan anaknya ke sekolah inklusi. Pertimbangannya pun beragam, mulai dari tidak tahan terhadap kritikan dan cemoohan dari orang tua yang enggan anaknya yang normal tapi disatukan dengan anaknya yang berkebutuhan khusus. Ada juga orang tua yang kurang percaya diri dan kasihan anaknya yang berkebutuhan khusus sekolah di sekolah inklusi. Mereka lebih nyaman menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus itu di sekolah luar biasa sebagaimana mestinya. Wallohua’lam.
Walaupun demikian sampai saat ini, sekolah inklusi masih identik dengan mencampur anak berkebutuhan khusus dengan anak biasa. Padahal sekolah bisa disebut inklusi, jika kita dapat melihat anak secara individual dengan pendekatan individual, bukan klasikal. Saat ini, pendidikan kita masih melihat peserta didik dengan satu kaca mata, semua anak adalah sama. Padahal, setiap anak terlahir dengan membawa perbedaan dan keunikannya masing-masing. Artinya, setiap anak harus diberi ruang dan hak untuk berkembang sesuai dengan kapasitas yang dibawanya. Sekilas saya bisa melihatnya, bahwa sekolah inklusipun bisa bersesuaian dengan pendekatan multiple intelegences. Sebuah pendekatan pembelajaran yang sedang banyak dikembangkan pula.
0 komentar:
Posting Komentar